Mensikapi HTS
Keimanan sunatullahnya naik dan turun. Begitu juga kesalehan, tak dapat diukur hanya dari sepotong label berjudul ikhwan, akhwat, anak ustadz, atau sekedar ngaji tak ngaji. Keimanan dan kesalehan lebih bermuara pada hati yang bersih, niat yang ikhlas, amal yang banyak manfaat dan perilaku yang mencerminkan akhlaqul karimah.
Seperti yang terungkap pada tulisan yang lalu, Hubungan Tanpa Status (HTS), sebuah fenomena pergaulan baru sebagai gejala rasionalisasi percintaan ala anak-anak muda yang mengaku aktivis dakwah. Ini jelas merusak kesucian hati. Mereka “punya rasa" satu sama lain, namun sedapat mungkin berupaya tidak melanggar pagar-pagar adab bergaul, yang kadang berhasil, kadang tidak. Mengaku tidak pacaran, tetapi kerap berdekatan. Secara fisik, juga emosi, Dalam rapat organisasi, dalam kegiatan kuliah, hingga aktivitas-aktivitas berlabel dakwah itu sendiri. Jalannya? Ya macam-macam. Pertemuan-pertemuan ‘tak’ disengaja, keperluan-keperluan yang terencana dengan memilih tempat-tempat umum dan terbuka bila ada perlu ‘berduaan’, atau saling telepon, sms, email hingga chatting yang bersambungan untuk bermacam urusan mulai dari yang penting hingga mengarah pada curhat soal pribadi. Itulah rasionalisasi. Makanya, meski tanpa ikrar maupun janji yang pasti, bisa dikatakan setiap orang tahu, siapa ‘punya’ siapa, atau siapa ‘ngetek’ siapa. Ya itulah yang terjadi pada ‘pelaku-pelaku’ HTS yang masih muda dan tengah menerima gempuran syahwat yang menerjang dari segala arah.
Soal suka-sukaan ini memang fenomena, jangankan yang sudah dewasa, yang baru lulus SD masuk SMP sudah banyak yang saling menelepon. Karena lingkungan sosial di luar ’mengajarkan’ begitu. Anak jadi terlalu cepat dewasa dan perempuan mulai kehilangan rasa malu. Kalau itu terjadi pada anak yang baru SMA, tingkat 1, tingkat 2, itu hal yang logis dan wajar, meski bukan hal yang benar. Tapi untuk yang sudah lebih dari itu, mestinya lebih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi serta perasaannya.
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa itu sesuatu yang sifatnya manusiawi. Pada dasarnya, memasuki usia remaja hormon-hormon seksual akan berkembang, sehingga sensitivitas setiap manusia terhadap lawan jenis pun berkembang pesat. Rasa suka dan ketertarikan ini tak perlu dibunuh. Sebab perasaan memang tak bisa dibunuh. Namun, perasaan ini dapat diredam, dan perilakunya tentu dapat dikendalikan dalam bingkai nilai yang benar.
Sebelum anak-anak muda kita semakin tak terarah, sebelum mereka merasa semakin jauh dan gersang dengan ‘rutinitas’ yang disodorkan, mari kita raih kembali hati mereka dengan menjadi orangtua sekaligus sahabat mereka. Lantas, bagaimana kita sernua menyikapi fenomena yang meresahkan ini?
Mengharapkan anak-anak muda ini sadar sendiri pun berat juga. Perlu ada penguatan hubungan batin diantara orangtua dan anak, murobbi dengan mutarobbi serta kontrol orangtua dan murobbi terhadap lingkungan pergaulan mereka.
Orang tua memegang peranan penting. Komunikasi dua arah yang sudah dijalin dengan baik sejak anak masih kecil akan merekatkan ikatan antara orangtua dan anak sampai mereka dewasa. Komunikasi yang dinilai paling efektif adalah saat orangtua menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Anak merasa bisa bicara apa saja dengan orangtuanya, termasuk membicarakan ketertarikan mereka pada lawan jenisnya. Dengan komunikasi yang lancar, orangtua bisa tahu semua perasaan anak-anaknya dan pada waktu yang tepat memberi saran, nasehat yang dibutuhkan anak, termasuk norma-norma agama yang tak boleh dilanggar dalam pergaulan lawan jenis. Satu lagi yang tak boleh diabaikan adalah kewibawaan orang tua. Walau orang tua bisa memposisikan diri sebagai teman atau sahabat buat anak, bukan berarti orangtua jadi hilang wibawa di depan anak-anaknya. Wibawa orangtua akan membuat anak taat pada segala kebaikan yang dipesankan ayah dan ibunya. Dimanapun dia akan selalu ingat nasehat kedua orangtuanya dan tak akan mengkhianati kepercayaan yang mereka berikan. Karenanya sudah selayaknya orangtua bisa membangun wibawanya di depan anak, selain juga harus bisa menjadi sahabat anak.
Berikutnya adalah murobbi. Peran murabbi sejak awal begitu besar buat para mutarabbi (binaan) dalam menapaki aktivitas dakwah juga dalam berperilaku. Murabbi yang aspiratif dan bersikap bagai sahabat adalah dambaan setiap mutarabbi. Wawasan yang luas soal pergaulan dan keterbukaan murabbi, terutama yang membina anak-anak muda, amat diperlukan. Berat memang, tapi tugas dakwah memang tak ringan.
Selanjutnya adalah peran lingkungan sosial. Makanya, meskipun setiap manusia memiliki kesamaan kecenderungan nafsu, namun implementasinya tergantung sekali pada lingkungan. Sebab lingkunganlah yang akan membentuk manusia akan jadi seperti apa dalam menjalani hidupnya. Dan ternyata, HTS antara seorang ikhwan dan akhwat biasanya sudah diketahui oleh ikhwah lainnya. Namun, entah merasa ini urusan pribadi seseorang, atau merasa sungkan untuk menegur, perilaku HTS ‘seolah’ mendapat tempat di kalangan aktivis muda. Rasa sungkan ini bisa berakibat fatal bagi kebersihan dakwah itu sendiri. Keberanian untuk saling menasehati adalah sumbangsih besar buat kelangsungan dan keberhasilan dakwah.
Boleh dibilang, anak tarbiyah sekarang adalah anak-anak yang tidak lahir dari masa-masa perjuangan dan tidak muncul dari proses kedewasaan yang utuh. Generasi seperti ini adalah generasi yang memahami sesuatu tidak dalam konteks bagaimana dia memperjuangkan itu. Maka timbullah gejala hipokritisme. Mereka akan berusaha mensiasati apa yang dimau. Ini boleh jadi ekses dari pola pembinaan atau tarbiyah yang makin kehilangan orientasi. Solusinya tarbiyah harus memberikan ruang lebih bagus. Berikan mereka pemahaman yang lebih substantif, seperti tauhid dan perjuangan.
Fenomena HTS di kalangan aktivis dakwah sebagai sebuah pe-er bagi para pengarah manhaj tarbiyah untuk memikirkan kondisi pergaulan masa kini secara komprehensif baik dari sisi syariah, psikologis maupun sosial. Pelakunya memang individu, tetapi perilaku mereka tentu juga sangat dipengaruhi kebijakan-kebijakan sistem tarbiyah itu sendiri. Karena itu dengan kontrol yang diimbangi solusi taktis yang jelas, kita berharap bisa meminimalisasi rasionalisasi-rasionalisasi dari pelaku tarbiyah untuk berlarut-larut terbuai dalam hubungan tanpa status. Amiin ya robbal ’alamin.
sumber: lentera kehidupan
Seperti yang terungkap pada tulisan yang lalu, Hubungan Tanpa Status (HTS), sebuah fenomena pergaulan baru sebagai gejala rasionalisasi percintaan ala anak-anak muda yang mengaku aktivis dakwah. Ini jelas merusak kesucian hati. Mereka “punya rasa" satu sama lain, namun sedapat mungkin berupaya tidak melanggar pagar-pagar adab bergaul, yang kadang berhasil, kadang tidak. Mengaku tidak pacaran, tetapi kerap berdekatan. Secara fisik, juga emosi, Dalam rapat organisasi, dalam kegiatan kuliah, hingga aktivitas-aktivitas berlabel dakwah itu sendiri. Jalannya? Ya macam-macam. Pertemuan-pertemuan ‘tak’ disengaja, keperluan-keperluan yang terencana dengan memilih tempat-tempat umum dan terbuka bila ada perlu ‘berduaan’, atau saling telepon, sms, email hingga chatting yang bersambungan untuk bermacam urusan mulai dari yang penting hingga mengarah pada curhat soal pribadi. Itulah rasionalisasi. Makanya, meski tanpa ikrar maupun janji yang pasti, bisa dikatakan setiap orang tahu, siapa ‘punya’ siapa, atau siapa ‘ngetek’ siapa. Ya itulah yang terjadi pada ‘pelaku-pelaku’ HTS yang masih muda dan tengah menerima gempuran syahwat yang menerjang dari segala arah.
Soal suka-sukaan ini memang fenomena, jangankan yang sudah dewasa, yang baru lulus SD masuk SMP sudah banyak yang saling menelepon. Karena lingkungan sosial di luar ’mengajarkan’ begitu. Anak jadi terlalu cepat dewasa dan perempuan mulai kehilangan rasa malu. Kalau itu terjadi pada anak yang baru SMA, tingkat 1, tingkat 2, itu hal yang logis dan wajar, meski bukan hal yang benar. Tapi untuk yang sudah lebih dari itu, mestinya lebih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi serta perasaannya.
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa itu sesuatu yang sifatnya manusiawi. Pada dasarnya, memasuki usia remaja hormon-hormon seksual akan berkembang, sehingga sensitivitas setiap manusia terhadap lawan jenis pun berkembang pesat. Rasa suka dan ketertarikan ini tak perlu dibunuh. Sebab perasaan memang tak bisa dibunuh. Namun, perasaan ini dapat diredam, dan perilakunya tentu dapat dikendalikan dalam bingkai nilai yang benar.
Sebelum anak-anak muda kita semakin tak terarah, sebelum mereka merasa semakin jauh dan gersang dengan ‘rutinitas’ yang disodorkan, mari kita raih kembali hati mereka dengan menjadi orangtua sekaligus sahabat mereka. Lantas, bagaimana kita sernua menyikapi fenomena yang meresahkan ini?
Mengharapkan anak-anak muda ini sadar sendiri pun berat juga. Perlu ada penguatan hubungan batin diantara orangtua dan anak, murobbi dengan mutarobbi serta kontrol orangtua dan murobbi terhadap lingkungan pergaulan mereka.
Orang tua memegang peranan penting. Komunikasi dua arah yang sudah dijalin dengan baik sejak anak masih kecil akan merekatkan ikatan antara orangtua dan anak sampai mereka dewasa. Komunikasi yang dinilai paling efektif adalah saat orangtua menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Anak merasa bisa bicara apa saja dengan orangtuanya, termasuk membicarakan ketertarikan mereka pada lawan jenisnya. Dengan komunikasi yang lancar, orangtua bisa tahu semua perasaan anak-anaknya dan pada waktu yang tepat memberi saran, nasehat yang dibutuhkan anak, termasuk norma-norma agama yang tak boleh dilanggar dalam pergaulan lawan jenis. Satu lagi yang tak boleh diabaikan adalah kewibawaan orang tua. Walau orang tua bisa memposisikan diri sebagai teman atau sahabat buat anak, bukan berarti orangtua jadi hilang wibawa di depan anak-anaknya. Wibawa orangtua akan membuat anak taat pada segala kebaikan yang dipesankan ayah dan ibunya. Dimanapun dia akan selalu ingat nasehat kedua orangtuanya dan tak akan mengkhianati kepercayaan yang mereka berikan. Karenanya sudah selayaknya orangtua bisa membangun wibawanya di depan anak, selain juga harus bisa menjadi sahabat anak.
Berikutnya adalah murobbi. Peran murabbi sejak awal begitu besar buat para mutarabbi (binaan) dalam menapaki aktivitas dakwah juga dalam berperilaku. Murabbi yang aspiratif dan bersikap bagai sahabat adalah dambaan setiap mutarabbi. Wawasan yang luas soal pergaulan dan keterbukaan murabbi, terutama yang membina anak-anak muda, amat diperlukan. Berat memang, tapi tugas dakwah memang tak ringan.
Selanjutnya adalah peran lingkungan sosial. Makanya, meskipun setiap manusia memiliki kesamaan kecenderungan nafsu, namun implementasinya tergantung sekali pada lingkungan. Sebab lingkunganlah yang akan membentuk manusia akan jadi seperti apa dalam menjalani hidupnya. Dan ternyata, HTS antara seorang ikhwan dan akhwat biasanya sudah diketahui oleh ikhwah lainnya. Namun, entah merasa ini urusan pribadi seseorang, atau merasa sungkan untuk menegur, perilaku HTS ‘seolah’ mendapat tempat di kalangan aktivis muda. Rasa sungkan ini bisa berakibat fatal bagi kebersihan dakwah itu sendiri. Keberanian untuk saling menasehati adalah sumbangsih besar buat kelangsungan dan keberhasilan dakwah.
Boleh dibilang, anak tarbiyah sekarang adalah anak-anak yang tidak lahir dari masa-masa perjuangan dan tidak muncul dari proses kedewasaan yang utuh. Generasi seperti ini adalah generasi yang memahami sesuatu tidak dalam konteks bagaimana dia memperjuangkan itu. Maka timbullah gejala hipokritisme. Mereka akan berusaha mensiasati apa yang dimau. Ini boleh jadi ekses dari pola pembinaan atau tarbiyah yang makin kehilangan orientasi. Solusinya tarbiyah harus memberikan ruang lebih bagus. Berikan mereka pemahaman yang lebih substantif, seperti tauhid dan perjuangan.
Fenomena HTS di kalangan aktivis dakwah sebagai sebuah pe-er bagi para pengarah manhaj tarbiyah untuk memikirkan kondisi pergaulan masa kini secara komprehensif baik dari sisi syariah, psikologis maupun sosial. Pelakunya memang individu, tetapi perilaku mereka tentu juga sangat dipengaruhi kebijakan-kebijakan sistem tarbiyah itu sendiri. Karena itu dengan kontrol yang diimbangi solusi taktis yang jelas, kita berharap bisa meminimalisasi rasionalisasi-rasionalisasi dari pelaku tarbiyah untuk berlarut-larut terbuai dalam hubungan tanpa status. Amiin ya robbal ’alamin.
sumber: lentera kehidupan
0 komentar:
Posting Komentar